Katanya cinta. Tapi kok malah berkemas dan meninggalkan
seenaknya. Bagaimana bisa ‘pergi’ jadi bukti cinta?
Kali ini saya ingin mengungkapkan alasan
bagi kamu yang masih selalu bertanya.Kenapa meninggalkan bisa jadi bukti
kuatnya perasaan? Kenapa dia yang katanya mencintai kita justru lebih mudah
mengakhiri hubungan?
1. Dia tidak pergi karena berhenti mencintaimu. Hidup
hanya bergeser menuju sumbu yang baru
Sesekali hidup hanya harus bergeser ke sumbu baru.
Hidup yang sudah terlalu biasa dijalani berdua terkadang
menyisakan lubang di dada. Jelas kamu mencintainya. Soal dia, kamu pun tak lagi
bertanya. Kalian sudah sama-sama berkembang jadi 2 orang yang saling jatuh
cinta.
Ketika dia meninggalkanmu bukan berarti dia berhenti
mencintaimu. Sesekali hidup hanya bergeser menuju sumbu yang baru. Sayangnya
kali ini tanpa dia di situ .
2.
Beberapa cinta tidak harus bertahan selamanya. Sesekali melepaskan adalah hal
terbaik yang kalian punya
Keinginan untuk bertahan terkadang membutakan. Rasa
ingin didampingi setiap waktu mengalahkan kesadaran untuk beringsut dari
hubungan yang sudah tidak lagi baik untukmu. Rasa takut sepi membuatmu lupa
bahwa hidup bukan cuma soal rasa hangat di dada. Hidup juga soal bagaimana kamu
terus berkembang sebagai manusia.
Ada cinta yang mati-matian harus
diperjuangkan. Cinta jenis ini adalah perasaan yang membuatmu memilih menutup
mata dan terus berjalan mengalahkan semua tantangan.
Sementara cinta yang menguatkan harus dipertahankan — cinta yang hanya
menghalau rasa kesepian perlu dilepaskan.
Kamu sudah cukup bijak untuk tahu apa bedanya. Hatimu
selalu tahu ini cinta yang mana.
3. Hubungan yang terlalu mengakar sering jadi penyebab
hidup tidak berjalan. Ikhlaskan, ikhlaskan
Jangan salahkan dirimu karena merasa tidak pantas
dicintai saat dia memilih pergi. Tidak. Barangkali dia masih mencintaimu
sedalam itu. Hanya saja hubungan ini sudah terasa terlalu nyaman. Dan selalu
ada yang mengerikan dari empuknya rasa nyaman.
Kamu dan dia harus keluar untuk berkembang. Seperti
perjalanan yang mendewasakan, kalian baru bisa tumbuh setelah menggigil
kedinginan. Setelah merasakan kesepian. Setelah tahu rasanya ditinggalkan.
4. Jangan tertawa. Tapi pergi memang bisa jadi bukti
cinta. Dia memilih pergi agar kamu tahu hidup bisa berjalan tanpanya
“Kamu sekuat itu. Kamu pasti baik-baik saja walau tanpa
aku.”
Pernyataannya sempat membuatmu ingin membawa kepalan
tanganmu ke mukanya. Kamu mencintainya. Selama ini dia sudah jadi sumbu dunia.
Bagaimana bisa kamu berjalan, kuat, waras, tanpa dia?
Ini memang akan terdengar klise sekali. Namun pergi juga
bisa jadi bukti cinta, sesekali. Dia memilih pergi bukan karena kehabisan rasa.
Malah dia ingin membuktikan bahwa hidup bisa berjalan baik-baik saja tanpanya.
Dia hanya mau kamu juga percaya.
5. Bukankah lebih baik pergi saat
masih cinta? Agar ada hal-hal baik yang masih bisa dirayakan di kepala
Jelas sakit akan ada. Untuk beberapa saat kamu harus
tidur dengan lubang menganga di dada. Memeluk diri sendiri jadi satu-satunya
cara agar kamu bisa tidur setelah membasahi bantal dengan air mata. Namun pergi
saat masih cinta jauh lebih baik dibanding pergi saat sudah tidak ada lagi rasa
yang tersisa.
Paling tidak, rasa cinta yang ada membuatmu bisa
merayakan hal-hal baik di kepala. Kamu masih bisa membayangkan bagaimana
senyumnya, bagaimana rasanya dipeluk selepas hari panjang, bagaimana
menceritakan kesuksesanmu padanya membuatmu merasa seperti pemenang.
Rasa yang masih tersisa membuatmu mampu menghargainya
dengan tulus. Dia memang pergi. Tapi selalu ada hal dari dirinya yang membuatmu
bersyukur dia pernah ada di sisi.
6. Kamu tidak pernah tahu betapa dia sebetulnya cinta.
Dia memilih pergi sebab jadi orang yang meninggalkan selalu menimbulkan lebih
banyak luka
“Kamu enak bisa pergi. Lah, aku di sini?”
“Sayang, tidak tahukah kamu kalau aku lebih
berdarah-darah dalam hati?”
Sebagai orang yang ditinggalkan kamu selalu punya
kesempatan untuk menyalahkan. Lantang mengutuk keadaan. Memposting semua
perasaan lewat sosial media agar dia tersindir dan tersadar.
Walau sakit, posisi jadi pesakitan ini jauh lebih ringan
dibanding dia yang mengambil keputusan. Seumur hidup dia akan menanggung
perasaan bersalah pernah meninggalkan. Seumur hidup dia harus berdamai dengan
pertanyaan, “Kenapa? Benarkah langkahku sudah meninggalkannya?”
Dia memang meninggalkanmu. Kamu hanya sering kurang peka
betapa dia mencintaimu.
Kenapa dia yang katanya mencintai lebih sering pergi?
Kenapa bertahan dia lupakan dan lebih memilih meninggalkan?
Ah, beberapa perasaan memang hanya harus diterima.
Sesekali kita perlu berhenti bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar