Desa yang Hilang, Kisah Nyata Sodom-Gomorah di Banjarnegara
Di ujung
tahun 2014 bencana alam bertubi-tubi datangnya. Sinabung belum beres, Gamalama
meledak. Ada juga bencana longsor di Karangkobar-Banjarnegara, Jawa Tengah,
yang mengubur Desa Jemblung dan menewaskan ratusan warganya. Bagi yang memiliki
iman, bencana alam yang datang bertubi-tubi menimpa bangsa ini tentu merupakan
satu isyarat dari Allah swt, agar kita kembali ke jalan tauhid dengan benar,
tidak menuhankan sesama mahluk, tidak menuhankan benda mati, karena Tuhan itu
hanya satu yakni Allah swt.
Ada sekelumit kisah nyata yang pernah terjadi pada sebagian
bangsa ini yang mungkin kita telah lupa. Dan sayangnya, peristiwa yang penuh
dengan pelajaran ini sama sekali tidak disinggung-singgung sedikit pun di dalam
buku pelajaran di sekolah. Kita dan anak-anak kita tidak pernah tahu jika ada
suatu desa yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom-Gomorah, senang
bermaksiat, yang oleh Allah swt dikubur seluruhnya dalam satu malam hingga
tidak bersisa. Satu desa bersama seluruh penduduknya lenyap dalam satu malam
tertutup puncak sebuah gunung yang berada agak jauh dari lokasi desa itu. Siapa
yang mampu memindahkan puncak gunung itu ke suatu tempat untuk mengubur satu
desa kecuali Allah Yang Maha Kuasa?
Inilah kisah tentang Dukuh Legetang, yang masuk dalam wilayah
Banjarnegara, Jawa Tengah. Kejadiannya di tahun 1955.
Dukuh Legetang adalah sebuah dukuh makmur yang lokasinya tidak
jauh dari dataran tinggi Dieng-Banjarnegara, sekira 2 kilometer di sebelah
utaranya. Penduduknya cukup makmur dan kebanyakan para petani yang cukup
sukses. Mereka bertani sayuran, kentang, wortel, kobis, dan sebagainya.
Berbagai kesuksesan duniawi yang berhubungan dengan pertanian
menghiasi dukuh Legetang. Misalnya apabila di daerah lain tidak panen tetapi
mereka panen berlimpah. Kualitas buah dan sayur yang dihasilkan juga lebih baik
dari yang lain.
Namun bukannya mereka bersyukur, dengan segala kenikmatan ini
mereka malah banyak melakukan kemaksiatan. Barangkali ini yang dinamakan
“istidraj” atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki yang banyak namun
orang tersebut akhirnya makin tenggelam dalam kesesatan.
Masyarakat Dukuh Legetang umumnya ahli maksiat. Perjudian di
dukuh ini merajalela, begitu pula minum-minuman keras. Tiap malam mereka
mengadakan pentas Lengger, sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh para
penari perempuan, yang sering berujung kepada perzinaan. Ada juga anak yang
malah melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri. Beragam kemaksiatan lain
sudah sedemikian parah di dukuh ini.
Pada suatu malam, 17 April 1955, turun hujan yang amat lebat di
dukuh itu. Tapi masyarakat Dukuh Legetang masih saja tenggelam dalam
kemaksiatan. Barulah pada tengah malam hujan reda. Tiba-tiba terdengar suara
keras seperti sebuah bom besar dijatuhkan di sana, atau seperti suara benda yang
teramat berat jatuh. Suara itu terdengar sampai ke desa-desa tetangganya. Namun
malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena selain suasana teramat
gelap, jalanan pun sangat licin.
Pada pagi harinya, masyarakat yang ada di sekitar Dukuh Legetang
yang penasaran dengan suara yang amat keras itu barulah keluar rumah dan ingin
memeriksa bunyi apakah itu yang terdengar amat memekakkan telingan tadi malam.
Mereka sangat kaget ketika di kejauhan terlihat puncak Gunung Pengamun-amun
sudah terbelah, rompal. Dan mereka lebih kaget bukan kepalang ketika melihat
Dukuh Legetang sudah tertimbun tanah dari irisan puncak gunung tersebut. Bukan
saja tertimbun tapi sudah berubah menjadi sebuah bukit, dengan mengubur seluruh
dukuh beserta warganya. Dukuh Legetang yang tadinya berupa lembah, kini sudah
menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya mati.
Gegerlah kawasan Dieng…
Masyarakat sekitar terheran-heran. Seandainya Gunung
Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu pasti hanya akan menimpa
lokasi di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini jelas bukan longsornya gunung.
Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang
sampai sekarang masih ada. Namun sungai dan jurang itu sama sekali tidak
terkena longsoran. Jadi kesimpulannya, potongan gunung itu malam tadi terangkat
dan jatuh menimpa dukuh Legetang.
Siapa yang mampu mengangkat separo gunung itu kalau bukan Allah
Yang Maha Kuasa?
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang dilangit bahwa Dia
akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu
bergoncang?” (QS Al Mulk 67: 16).
Untuk memperingati kejadian itu, pemerintah setempat mendirikan sebuah tugu yang hari ini masih bisa dilihat siapa pun. Ditugu tersebut ditulis dengan plat logam:
“TUGU
PERINGATAN ATAS TEWASNJA 332 ORANG PENDUDUK DUKUH LEGETANG
SERTA 19 ORANG TAMU
DARI LAIN-LAIN DESA
SEBAGAI AKIBAT
LONGSORNJA GUNUNG PENGAMUN-AMUN
PADA TG.
16/17-4-1955″
Sungguh kisah
tenggelamnya dukuh Legetang ini menjadi peringatan bagi kita semua bahwa azab
Allah swt yang seketika itu tak hanya terjadi di masa lampau, di masa para
nabi, tetapi azab itu pun bisa menimpa kita di zaman ini. Bahwa sangat mudah
bagi Allah swt untuk mengazab manusia-manusia lalim dan durjana dalam hitungan
detik. Andaikan di muka bumi ini tak ada lagi hamba-hamba-NYa yang bermunajat
di tengah malam menghiba ampunan-Nya, mungkin dunia ini sudah kiamat.
Kita berhutang budi kepada para ibadurrahman, para hamba Allah
swt yang berjalan dengan rendah hati, tak menyombongkan dirinya. Mereka
senantiasa bersujud memohon ampunan-Nya. Meski keberadaan mereka terkadang tak
dianggap, hanya dipandang sebelah mata oleh manusia, tetapi sesungguhnya mereka
begitu akrab dengan penghuni langit. Mereka begitu tulus menghamba pada-Nya,
berusaha menegakkan kalimat-Nya di muka bumi ini. Mereka tak pernah
mengharapkan imbalan dari manusia, karena imbalan dari Allah swt lebih dari
segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar